Link Fomototo: Sajak Sunyi di Era Di Mana Puisi Tak Lagi Dibaca
Link Fomototo: Sajak Sunyi di Era Di Mana Puisi Tak Lagi Dibaca
Blog Article
Chairil Anwar menulis “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Sapardi menulis “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.”
Taufiq Ismail menulis tentang luka bangsa dan kesunyian.
Tapi hari ini?
Yang paling sering dibaca dan ditunggu bukan puisi,
melainkan satu baris link yang muncul di grup Telegram:
“Link Fomototo terbaru malam ini, sudah update.”
Dan entah mengapa,
kalimat itu terasa lebih menyentuh
daripada metafora cinta berlapis-lapis.
Data: Puisi Turun Peminat, Tapi Link Fomototo Naik Pembaca
Menurut data Komunitas Literasi Digital Indonesia (2024):
-
Pembacaan puisi di platform digital menurun 47% dalam lima tahun terakhir
-
71% pengguna media sosial lebih memilih konten “yang bisa langsung dirasakan hasilnya”
-
Sementara itu, link Fomototo dibagikan ribuan kali per hari secara organik, tanpa perlu promosi atau lomba baca puisi
Karena orang sekarang tidak mencari kalimat indah,
mereka mencari peluang kecil untuk menang,
bahkan jika itu hanya berupa satu klik login dan doa sunyi di balik layar ponsel.
Fomototo: Bentuk Puisi Baru Tanpa Majas, Tanpa Diksi, Tapi Penuh Rasa
Puisi klasik:
-
Dibaca dengan hening
-
Ditafsirkan berulang-ulang
-
Disampaikan dengan suara rendah
Fomototo digital:
-
Dibuka dengan jari gemetar
-
Diresapi dalam 30 detik spin
-
Ditutup dengan evaluasi: “Besok coba jam yang beda.”
Dan itulah bentuk literasi emosional paling aktual hari ini.
Bukan sajak tentang kenangan masa kecil,
tapi scatter yang tak kunjung muncul,
walau saldo sudah makin tipis.
Link Fomototo: Jembatan Menuju Realita yang Tidak Pernah Diakui Sastrawan
Sastrawan bilang:
“Puisi itu cermin jiwa.”
Tapi link Fomototo adalah:
“Cermin realita, yang kadang lebih pahit dari bait kehilangan.”
Karena tidak semua orang bisa menikmati puisi tentang hujan,
tapi semua orang pernah berharap scatter di akhir bulan.
Kesimpulan: Link Fomototo, Lembar Sajak Rakyat Biasa yang Tak Pernah Masuk Kurikulum
Link Fomototo bukan karya sastra.
Tapi ia dibaca dengan khusyuk,
ditunggu dengan harap,
dan ditutup dengan ikhlas.
Jika Chairil ingin hidup seribu tahun lagi,
maka generasi sekarang hanya ingin:
“WD sekali malam ini pun cukup.”
Karena dalam hidup yang penuh deadline, tagihan, dan ekspektasi,
kadang satu-satunya puisi yang benar-benar terasa
adalah link yang membawa peluang kecil —
untuk menang, atau setidaknya… merasa hidup.